Top Social

KAITO KID AND FOOLISH GIRl

|
KAITO KID AND FOOLISH GIRl

Day 1, Kantin 12:15
"Saat ini gue bener-bener pengen punya pacar. Jelek juga ngga apa-apa. Yang penting mau sama gue" ujar Marino tiba-tiba.

Aku benar-benar kaget mendengarnya, hampir saja aku tersedak. Aku ngga salah dengar kan? Marino pengen punya pacar? Maksudku, aku sudah mengenalnya selama 2 tahun. Aku tahu itu waktu yang singkat untuk mengenal seseorang lebih jauh. Tapi, selama ini Rino selalu bilang dia ngga mau pacaran dulu. Selain buang-buang uang dan merepotkan, dia juga belum pernah benar-benar suka ataupun jatuh cinta sama cewek. Selama ini kerjaaannya hanya menggoda para cewek karena dia menikmati perasaan saat berhasil membuat para cewek GR. Intinya, selama ini dia hanya main-main dengan mereka.
Hal inilah yang membuatku nyaman berteman dengannya. Karena aku juga ngga mau punya pacar, sama seperti dia. Alasan lainnya karena di dunia nyata tidak ada cowok yang mirip tokoh utama cowok di komik-komik Jepang. Seperti Kaito Kuroba, Sinichi Kudo, Li Syaoran, Takuya Enoki, Uzumaki Naruto, Kakeru Takezawa, dan sebagainya. Aku sering berkhayal mendapat cowok seperti terutama Kaito Kuroba. Karena dia benar-benar keren saat menjadi Kaito Kid.

Yah.. mungkin terdengar gila, tapi sesekali bermimpi ngga apa-apa bukan? Last but not least, karena aku tidak mau menjadi bodoh seperti teman-teman cewekku. Setelah memiliki pacar yang mereka pikirkan hanyalah "si dia". Sehingga kerjaan mereka cuma melamun, bahkan saat jam pelajaran berlangsung. Bener-bener ganggu konsenterasi deh.. Jadi ga aneh jika otomatis nilai mereka pada anjlok. Selain itu, emosi mereka menjadi labil. Sebentar-bentar nangis, sebentar-bentar ketawa. Bagi yang ngga tahu mereka lagi diserang virus merah jambu pasti menyangka mereka sakit jiwa.

Ada kata-kata bijak yang menjadi panutanku tapi aku lupa siapa yang ngomong. Begini isinya "Orang bodoh belajar dari kesalahan sendiri sementara orang bijak belajar dari kesalahan orang lain". Aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa pacaran itu banyak ruginya daripada untungnya. Yah.. walaupun ngga semua yang pacaran mengalami hal kusebutkan tadi tapi sebagian besar kan begitu. Dan aku tidak bisa menjamin diriku termasuk yang sebagian kecil jika pacaran nanti. Jadi, keputusanku ini tepat bukan?

Karena alasan-alasan tersebutlah, aku jadi nyaman saat bersama Rino. Soalnya jika bersama teman-teman cewekku mereka selalu bertanya kapan aku punya pacar, mengatai aku kuper dan munafik karena ngga mau punya pacar.

Mereka juga salah paham dengan keputusanku untuk tidak punya pacar, mereka malah mengartikan bahwa aku ngga mau atau ngga pernah fall in love karena prinsipku tadi. Padahal aku pernah, bahkan sering jatuh cinta. Tapi, aku ngga mau melanggar prinsip yang sudah kubuat. Bahkan mereka pernah nyomblangin aku dengan beberapa cowok. Luckily, usaha mereka ngga berhasil karena aku tuh bukan tipe idaman para cowok. Para cowok kan ngga suka gadis pintar sepertiku, harga diri mereka pasti terluka jika punya cewek yang lebih pintar dari mereka.

Hal inilah yang membuatku risih. Bukan karena aku bukan tipe idaman para cowok lho. Kalau hal itu sih aku benar-benar bersyukur karena telah membantuku menjalankan prinsipku. Tapi, karena teman-teman cewekku sering MEMAKSAKU untuk punya pacar. Berbeda jika bersama Rino, kami berdua merasa nyaman karena kami puas dengan status kami yang single alias jomblo. Hidup jomblo!!!

Jadi, aku rasa sekarang kalian mengerti kan kenapa aku super duper kaget mendengar ucapan Rino.

"Hah?! Rino becanda kan?! Bukannya kamu ngga mau punya pacar?” tanyaku dengan ekspresi kaget plus ngga percaya. “Kamu serius, No? Lalu gimana dengan janji kita untuk jadi jomblo sampai selesai SMA?”

"Maaf, lo bilang apa barusan? Gue ngga denger habis di sini berisik banget." jawabnya setengah teriak.

"Ngga, bukan apa-apa. Anggap aja Rino ngga pernah denger." jawabku ketus

"Hei, jangan bikin gue penasaran dong. Loe ngomong apa tadi?"

"Sorry ya ngga ada siaran ulang." jawabku sambil menggelengkan kepala. Masa Rino ngga tahu kalau aku paling benci sama orang yang ngga dengerin ucapanku.

"Hei, jangan ngambek dong. Gue tratir makan deh. Mau ga? Tapi, syaratnya loe harus ngasih tahu tadi lo ngomong apa. Gimana?" bujuknya.

Kulirik Rino secara perlahan. Sepertinya saat ini aku lagi pasang mupeng (muka pengen). Karena sebenarnya aku pengen banget ditraktir sama Rino. Dengan begitu uang makan siangku dapat ditabung buat beli komik. ‘Hei, apa yang kamu pikirkan, Nia? Tidak boleh! Kau ngga mau memakan kembali sesuatu yang telah kau muntahkan, bukan?’ batinku.

Melihatku yang tidak memberikan reaksi apa-apa, tiba-tiba Rino mengelus-ngelus rambutku dan berkata "Sudahlah, jangan marah. Mukamu jelek tahu kalau marah. Kalau loe ngga mau, gue ngga maksa kok." Mendengar hal itu, aku refleks menggembungkan pipiku dan menatap Rino dengan tajam.

Tapi anehnya, dia malah tersenyum. "Kenapa sih kalau marah loe selalu gitu? Tapi, Nia kalau marah lucu banget. Gue gemes ngeliatnya.".
Aku tetap melanjutkan protes diamku. Rino kemudian melirik jam tangannya "Eh, sebentar lagi masuk. Gue duluan ya! Dah!!!" katanya sambil melambaikan tangan.
‘Hei, masa dia meninggalkanku begitu saja?!’

"RIIIINOOO REEEESEEE!!!!! Tungguin Nia.." akupun mengejar Rino yang terlebih dulu meninggalkan kantin dan tentu saja setelah membayar makan siangku.


"Nia… temenin gue nonton pertandingan basket dong" bujuk Shasa, saudara sepupu sekaligus tetanggaku.

"Ngga mau! Ngga lihat apa kalau Nia lagi baca komik." ucapku sewot. Sekedar info, aku juga paling ngga suka diganggu saat baca komik.

"Loe kayak ngga tahu aja, Ogie kan tampil. Masa gue sebagai pacarnya ngga nonton and ngga ngasih support ke dia?"

‘Itu sih DL (Derita Loe).’ ujarku dalam hati. Shasa kayak ngga tahu kalau Nia paling males pergi ke acara gituan. Selain berisik, basketball court kan ngga nyaman buat baca komik. Pasti Nia BT banget karena ngga ada yang bisa kulakukan di sana, sementara Shasa sih enak-enakan pacaran sama Ogie. Ngga banget deh.

"Nia, please… nyokap gue ngga bakal ngasih izin kalau gue perginya ngga sama loe. Nia, please…" rengeknya "Ayolah, ntar gue beliin loe komik. Ikut ya?"
"Beneran nih?!" tanyaku tak percaya
"Ya iyalah masa ya iya dong" jawabnya sambil mendelik marah.
"Ok! Kalau gitu Nia ganti baju dulu ya!"
"Cepetan ya! Ngga pake lama." teriaknya
"Rebes, Bos!" sahutku

Setelah ganti baju, aku dan Shasa pergi ke GOR Panatayuda, tempat pertandingan basketnya berlangsung dengan menggunakan motor. Tentu saja Shasa yang bawa motornya, cause Nia ngga bisa bawa motor. Tak sampai 5 menit, kami sudah sampai karena jarak rumah kami ke GOR lebih kurang 4 km.

Untungnya saat tiba di sana, pertandingan basketnya baru saja dimulai. Jika tidak, pasti saat ini Shasa lagi menggerutu karena telah terlambat datang. Tapi di sisi lain ini neraka bagiku karena berarti aku akan lama disini. Aaaaarrrrggghhh!!!! BT! BT! BT! Pertandingannya cepatlah selesai... Nia pengen cepet-cepet pulang dan baca komik. Aku mengutuki diriku sendiri karena lupa bawa komik. Kalau saja Shasa ngeburu-buru pasti aku sekarang sudah selesai baca komik Detektif Conan yang terbaru. "Sabarlah Nia, sabar!! Bayangkan satu lagi komik akan bertambah di rak bukumu. Sabar." hiburku dalam hati.

Dan ternyata Nia harus bersabar lebih lama karena begitu pertandingannya berakhir, Shasa dan Ogie malah pacaran dulu di pojokan. "Tungguin gue dulu ya! Sebentar kok ngga bakal lama. Lagipula gue udah nyuruh Rino, sohibnya Ogie buat nemenin loe kok. Oh ia, denger-denger dia itu jomblo dan gue rasa tampangnya lumayan ganteng lho. Kalau kalian berdua jadian, loe kan jadi punya kegiatan dan alasan yang jelas kalau ada acara gini lagi. Terus kalau berhasil, jangan lupain jasa gue ma Ogie ya!" katanya tanpa titik dan koma. Aku hanya bengong, belum sempat mencerna ucapannya dan bahkan belum membantahnya. Kemudian dia melangkah pergi meninggalkanku dengan perasaan kacau balau. Yang benar saja? Dia bercanda kan saat menyuruh aku jadian sama Rino?

Tak lama kemudian Rino datang menghampiriku. "Jadi, loe saudara sepupunya Shasa ya?" tanyanya.

"Tentu saja, kau pikir aku siapa? Baby sitternya kah?" pikirku.
"Ya" jawabku tidak bersemangat. "Dan kau pasti Rino? Salam kenal." Kupaksakan diri untuk tersenyum.
"Kok loe ngga mirip sama Shasa ya?”
“Haloo!! Adik-kakak aja mukanya ngga mirip. Apalagi saudara sepupu?!”
“Oh iya, bener juga ya.” jawab Rino dengan wajah tak berdosa. “By the way, tadi Shasa nitip uang Rp 25.000 buat beli komik dan dia juga nyuruh gue untuk ngaterin loe. So, loe mau gue anterin beli buku? Or loe mau gue anter pulang?"

Ya ampun, Shasa! Dia emangnya ngga tahu kalau aku paling anti sama tipe cowok-cowok kayak Rino. Mereka emang ganteng. Tapi, aku yakin mereka sering banget gonta-ganti pacar karena mereka mudah sekali mendapatkan cewek. Hal itulah yang membuat mereka menyepelekan cewek.

"Err.. Thanks uangnya! Tapi kamu yakin mau nganterin Nia? Kamu ngga takut cewekmu cemburu?"
"Tenang ja, sekarang status gue jomblo kok."
"Aduh! Nia bego banget! Nia lupa kalu Shasa udah ngasih tahu kalau Rino jomblo" pekikku dalam hati. "Masa? Err… tapi loe lagi PDKT sama someone ga? Kalo ia, lebih baik ngga usah nganterin Nia"

"Tenang aja sekarang gue ngga PDKT or pacaran sama siapapun. Or loe takut gue bakal gigit? Tenang ja, gue bukan anjing kok." jelasnya. Walaupun begitu, aku setengah tidak percaya mendengar ucapannya.
"Sebenarnya gue ngga mau ungkit masalah ini tapi.." Dia menghela napas.
"Dulu, gue pernah punya pacar namanya Linda, dia cantik,ramah dan baik. Tapi, ternyata dia ngga serius suka sama gue. Dia dan temannya taruhan atau berlomba untuk dapat pacar duluan. Saat tahu hal itu, hati gue sakit banget. Karena itulah saat ini gue ngga mau pacaran atau PDKT dulu." ungkap Rino sambil menunduk sedih.

Aku tidak percaya cowok seperti Rino ternyata termasuk salah satu korban kekejaman cewek. Mungkin saja Rino tak seperti yang kukira. Pasti sangat menyakitkan jika orang yang kau sukai ternyata hanya mempermainkanmu. Rino maaf ya! Karena aku telah berprasangka buruk padamu.

Suasana menjadi hening. Aku menatap kasihan pada Rino. Kemudian Rino tersenyum manis. "Tampang loe serius amat sih. Gue ngga apa-apa kok. Tadi itu bohong. Hehehe... Sorry ya!”.
Aku langsung gondok mendengarnya. Teganya dia membohongiku. Pengen gue gampar Rino saat itu juga. Tapi, gue tahu marah ngga bakal menyelesaikan masalah.

“Ternyata benar yang Shasa bilang kalau loe tuh naïf. Hati-hati lho zaman sekarang punya sifat naïf itu jelek. Loe ngga takut nanti gampang ditipu orang, Foolish girl?" tambahnya.

Saat itu aku marah sekali pada Rino. Berani-beraninya Rino membohongiku dan mengataiku foolish girl. Seumur hidup, tidak ada seorang pun yang pernah mengataiku seperti itu. Bahkan Ibuku juga tidak. Pembuluh darahku naik. Amarahku siap meledak kapan saja. Dan tanpa kusadari, tanganku sudah menampar wajahnya.

"Kau keterlaluan!" kataku dengan mata berkaca-kaca menahan air mataku agar tidak jatuh berderai. Aku bergegas angkat kaki dari situ. Aku merasa kecewa dengan sikap Rino. Kutarik semua perkataanku tadi. Ternyata Rino sama saja dengan semua cowok ganteng yang menyebalkan.  I hate Rino!!!

"Nia!! Nia!!" aku mendengar Rino memanggilku. Tapi kupercepat langkahku karena aku tidak mau, larat tidak akan pernah menemui dia lagi. Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa kata-kata Rino begitu menyakitkan hatiku. I can't believe this! Saat ini aku benar-benar menyesali keputusanku setuju ikut pergi dengan Shasa. “Ayolah Nia, jangan pedulikan ucapannya, dia bahkan tidak mengenalmu. Berhentilah menangis. Air matamu terlalu berharga.” hiburku pada diriku sendiri. Kuseka air mataku, dan setelah itu aku tidak mendengar suara Rino lagi.

"Nia, bangun sayang! Sudah jam setengah enam, kau belum shalat subuh kan?" suara Mama membangunkanku.

"Ya, Ma! Sebentar" jawabku dan berjalan dengan gontai ke kamar mandi. Kenapa tadi aku bermimpi tentang pertemuan pertamaku dengan Rino? Apa karena kejadian kemarin? Entahlah, saat ini aku tidak mau memikirkannya.


Day 2, Tempat parkir sekolah, 06 : 25
“Hai Nia!!” sapa Latifa (Ifa), teman sekelasku.
“Eh, Hai juga!” aku tersenyum padanya. “Tumben banget datang pagi. Mangnya ada apa, Fa? Belum ngerjain PR ya?” tanyaku.
“Loe nyindir gue nih?” tanyanya sewot seraya melirik sinis padaku.
“Ngga, cuma aneh aja. Kejadian langka, aneh bin ajaib” sahutku.
“Sebenernya gue juga ngga mau datang pagi. Tapi, Bokap gue berangkat ke kantornya pagi-pagi. Katanya sih ada rapat. Kalau gue mau dianter bokap gue, mau ngga mau gue harus ikut berangkat pagi juga.” ungkapnya.
Aku nyengir lebar mendengarnya. “Wah.. berarti bokap loe harus sering-sering berangkat pagi nih.” sindirku.
“Udah deh.. gue lagi ngga mood bercanda. By the way, loe udah denger belum kalau Amrina suka sama Rino?”
“Hah? Yang bener?! Maksudmu Amrina anak X-4? Yang eksulnya cheers itu?” aku melongo tak percaya.
“Ya. Tapi, dia menyangka loe ma Rino pacaran jadi..”
“Enak aja! Sejak kapan gue sama Rino jadian?!” aku meninggikan nada suaraku.
“Sstt!” Ifa meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya.
“Gue kan belum selesai ngomongnya. Lagipula, gue juga udah ngejelasin ke dia kalau kalian berdua cuma sobatan. Dia bilang kalau kalian emang cuma sobatan, dia minta bantuan loe untuk jadi mak comblang. Loe mau ngga?”
Pertanyaan Ifa mengingatkanku pada pembicaraanku dengan Rino kemarin. Kalau Rino tahu hal ini, dia pasti senang banget. Secara, baru kemarin dia bilang pengen pacaran. Tahunya udah ada cewek yang mau. Kok bisa kebetulan begini ya?
Tanpa menunggu jawaban dariku. Ifa kembali berbicara “Menurut loe, Rino bakalan mau pa ngga ya? Terus tipe ceweknya Rino kayak gimana sih?”
“Entahlah.. I don’t know. Nanti kan kutanyakan pada Rino.” jawabku.
“Kalau loe dah tahu, jangan lupa kasih tahu gue. Thanks ya!” ujar Ifa.
Aku hanya membalas ucapan Ifa dengan senyuman karena aku sama sekali tidak tahu harus berbuat dan berkata apa.

Di satu sisi, aku ingin Rino senang. Tapi, aku juga ngga mau kehilangan dirinya. Lebih tepatnya sih ngga mau kehilangan best friend. Karena dulu aku juga pernah mengalami hal seperti ini. Aku punya best friend bernama Wanda. Kami dekat dari TK. Tapi, ketika masuk SMP, semuanya harus berakhir. Karena semenjak Wanda punya pacar, kami tidak lagi menghabiskan waktu bersama. Dan aku tidak mau hal seperti itu kembali terulang.

Di sisi lain, Amrina pasti sakit hati jika dia tahu bahwa Rino tidak menyukainya tapi hanya butuh seorang pacar. Aku juga ngga ngerti apa sih yang merasuki Rino sampai dia ingin punya pacar. Padahal dia tidak menunjukkan gejala-gejala jatuh cinta. Apa dia lagi punya masalah keluarga dan butuh kasih sayang? Tapi, jika hal itu benar kenapa dia tidak percaya padaku? Uuuggghhh... Masalah ini membuat kepalaku pusing.

Teras X-3, 09:45
Saat ini aku sedang membantu Rino “Hunting cewek”.
“Hei, liat gadis arah jam 3. Menurut loe gimana?” tanyanya.
Aku celingukan mencari gadis yang dimaksud Rino. “Yang mana?”
“Yang lagi minum fruit tea, pake kacamata pink.” jelasnya.
“Ooh... Maksudmu Laudia? Ya, dia cantik. Tapi, sayangnya kamu ngga beruntung. Menurut gosip yang kudengar dia lagi PDKT sama Kak Adit, XII IPA 1.”

Melihat wajah Rino yang ngga peduli dengan info yang baru saja kusebutkan, sehingga aku menambahkan. “Dan sekedar catatan, mereka berdua saling suka. Jadi, kesempatanmu tuh kecil alias hopeless.”

Rino tertunduk sedih mendengarnya. Sementara aku nyengir lebar melihat ekspresi kecewa di wajahnya. Aku tahu aku keterlaluan tapi aku ngga mau kehilangannya.
“Gotcha! Gue ngga sedih kok.” ucap Rino seolah membaca pikiranku.
‘Sialan!’ umpatku dalam hati.
“Hmm... kalau cewek yang lagi ngobrol sama guru. Arah jam 12, gimana?”
“Gita? Dia sih lebih parah. Dia udah punya pacar, Kak Lutfi IX IPA 3. Udah deh, Rino nyerah aja. Nia benci Rino yang kayak gini.” aku merengut.
“Udah kalau loe cemburu, ngomong aja deh.”
“Najis! Siapa juga yang cemburu?!” aku menaikkan nada suaraku. “Yang Nia ngga suka tuh perlakuan Rino ke cewek-cewek itu. Rino pikir mereka tuh boneka apa?! Tinggal tunjuk langsung jadi pacar Rino?!” aku mendelik marah padanya.
Rino nyegir lebar dan mengacak-ngacak rambutku.
“Aaahh.. Rino!!! Rambut Nia kan jadi berantakan.” gerutuku sambil menyisir rambutku kembali.
Rino malah tertawa terbahak-bahak dan memegangi perutnya. Aku memicingkan mataku.
“Kenapa?” tanya Rino.
Aku menggeleng. Aku tahu Rino cuma bercanda jadi aku tidak marah padanya. “Ngga... cuma aneh aja.. Kok Nia bisa ya sobatan sama orang aneh kayak Rino?”
“Loe nyebut gue aneh?? Ngga salah tuh?! Bukannya loe lebih aneh dari gue, ya kan alien dari Mars?”
“Sialan!” cibirku.
“Kalau gue aneh, bukannya yang mau jadi sohib gue lebih aneh lagi? Gue bener kan?”
Aku berpikir keras, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Rino. Harus aku akui perkataan Rino ada benarnya. Kenapa ya aku mau jadi sohibnya?

Creative Commons License
Kaito Kid with Foolish Girl by Hana Bilqisthi is licensed under a Creative Commons Attribution 2.0 Korea License.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung :D
Yang menulis belum tentu lebih pintar dari yang membaca
Jadi, silahkan kalau mau memberikan kritik, saran, umpan balik & pujian.
:D

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

Post Signature

Post Signature